Pages

Kamis, 23 Februari 2017

Kereta Dorong Tahun 1970an di Sukowono

Kamis, 23 Februari 2017

Kereta Dorong Tahun 1970an

"Kereta dorong anak bayi dari rotan dan plastik jaman dulu kelihatan unyu-unyu bagi orang sekarang. Modelnya anak dokter yang pernah praktek di Sukowono." Begitu kata bapak Bambang Hermanto kemarin, ketika mengunggah foto hasil jepretan Alm. Ayahnya, pemilik Njoo Studio Kalisat.

Ditambahkan oleh Bapak Nonot Kasdaru, warga Sukowono kelahiran 29 Juni 1957. "Jaman dahulu tidak semua ortu bisa belikan kereta ini. Biasanya pinjam. Karena rodanya kayu jadi kalo didorong bunyinya klotok-klotok. Hhhh.. Asyik."

Rabu, 22 Februari 2017

Dokter Tempo Dulu di Sukowono

Rabu, 22 Februari 2017

Dr. Budiono S. di Sukowono. Foto milik Njoo Studio Kalisat

Namanya Dr. Budiono S. Foto ini dipotret dan dikoleksi oleh Njoo Studio Kalisat pada era 1970an, dan diunggah kembali oleh Bapak Bambang Hermanto (1958) di group Sudut Sukowono pada 22 Februari 2017 pukul 11.23. Ada banyak komentar di bawahnya, berikut di antaranya.

"Jaman Tonikum Bayer masih trend," kata Bapak Erfan Afiat Sentosa.

Ditambahkan oleh Bapak IzzatUmari Jember, ia bilang, "Dulu di Sukowono ada dokter namanya dokter David. Anak-anak dulu ketemu dengan dokter seperti ketemu dengan malaikat maut."

Hehehe... Jadi teringat istilah congke'an pada jaman dulu. Mungkin istilah sekarang imunisasi ... Walau saya sadari saat itu saya adalah putra seorang Kepsek, saya berada di depan mengajak teman-teman untuk tidak masuk sekolah. Walhasil, besoknya semua dipanggil dan ketua peleton dihajar pakai manjelin oleh Ayahnya sendiri." Sepenggal kisah dari Bapak Erfan Afiat Sentosa.

"Congkek'an dan cekkokan... Dulu kalo mau dicekkok ibu-ibu kita tidak mau kalah dengan anak-anak yang berontak tidak mau dicekkok... Langsung ekopeteng (ditelentangkan tangan di bawah pinggul) kalo masih mingkem langsung hidung ditutup... Yah dengan terpaksa mangap... Langsung mengalirlah air temmuh ke kerongkongan kita..." Sepenggal kisah dari Bapak IzzatUmari Jember.

Ditambahkan oleh Bapak Erfan Afiat Sentosa, "Hagagagagga..... Habuh.. Keji..... Saya kebagian yang ekarobudin.... Iyu ben Kakak se aberiguh.... Ibuk se nyekoken... Deri takoknah ecekkoken pole... Sattanang si biasa e angguy e buwang ka songay."

Sabtu, 18 Februari 2017

Foto Sukowono Tahun 1969

Sabtu, 18 Februari 2017

Foto kiriman Bapak Bambang Hermanto, warga Kalisat

Sebuah papan tulis menjadi latar foto ini, bertuliskan, Sukowono Djember, Kemis, 26 Juni 1969. Foto ini adalah koleksi milik Njoo Studio Kalisat, dan dikirimkan ke group Sudut Sukowono pada 18 Februari 2017 pukul 13.43, oleh Bapak Bambang Hermanto, putra (ahli waris) dari Njoo Studio Kalisat. Dalam kirimannya, hanya ada pengantar pendek, "Mungkin ada yang kenal dan tahu tempatnya, yang pasti ini di Sukowono tahun 1969."

Adapun jawaban dari Bapak Erfan Afiat Sentosa, "Kemungkinan besar foto ini adalah keluarga dari Mas Cung Doyok, alamat timur Koramil Sukowono."

Jumat, 17 Februari 2017

Taman Bahagia Sukowono

Jumat, 17 Februari 2017

Taman Bahagia Sukowono

Berikut adalah foto kiriman Bapak Erfan Afiat Sentosa, warga JL. Cempaka No. 13 Sukowono, di group Facebook Sudut Sukowono. Ada keterangan pendek mengenai foto ini dari Bapak Erfan, "Nemmu foto ini di foto-foto sejarah Kabupaten Jember." Ia mengirimnya pada 17 Februari 2017 pukul 23.16.

Rabu, 15 Februari 2017

Ada Pelabuhan di Sukowono

Rabu, 15 Februari 2017

Dokumentasi Sudut Sukowono, 15 Februari 2017

Di Sukowono, rumah potong hewan lebih akrab disebut sebagai 'Plabbhuwen.' Sebutan yang sama juga berlaku di kecamatan sebelah, Kalisat. Mengapa harus bernama plabbhuwen? Orang yang tidak mengerti, ia akan menganggap plabbhuwen adalah bahasa Madura untuk pelabuhan, tempat bersandarnya perahu dan kapal-kapal.

Bagaimana menurut Anda, apakah plabbhuwen berawal dari kata labu? Yang artinya, tempat 'menjatuhkan' hewan-hewan ternak seperti sapi. Akan tetapi, dalam masyarakat kita, menurut Bapak IzzatUmari, biasanya orang lebih memilih kata 'robbhu.'

"Andai disebut parobbhuwen masih masuk..."

"Karena yang terjadi di masyarakat apabila ada hajatan/akarjeh (walimahan dll) para tetangganya saling menanyakan begini, 'Apa marobbhu/potong sapi... marobbhu berempah man gedheng rowah..?' Dan istilah marobbhu ini hanya untuk hewan sapi tidak untuk hewan yang lain.... Dan pembicaraan robbhu marobbhu itu secara tersirat menandakan status yang punya hajat/se akarjeh = bergengsi."


Dokumentasi Sudut Sukowono, 15 Februari 2017

Bagaimana menurut Anda? Mengapa Rumah Potong Hewan di Sukowono disebut plabbhuwen? Mari kita pikirkan bersama-sama.

Minggu, 12 Februari 2017

Sudut Sukowono

Minggu, 12 Februari 2017
SUDUT Sukowono hanyalah sebuah nama group/perkumpulan yang bermula di Facebook, dan mengerucut pada nama sebuah kecamatan di kabupaten Jember yaitu kecamatan Sukowono. Melihat dari namanya yang sederhana, sudah pasti ia berbicara seputar hal-hal ringan yang terjadi di Sukowono. Memang, Sudut Sukowono hadir untuk mengusung gagasan itu, tentang mendokumentasikan segala hal di Sukowono, dari berbagai sisi, baik itu sejarah, cerita rakyat, legenda, kuliner, gaya hidup, fashion, foto-foto, jenis satwa yang ada di Sukowono, jajaran pohon perindang jalan, dan lain sebagainya.

Kecamatan Sukowono sendiri terdiri atas duabelas desa. Bila ingin mengerti nama-nama desa di kecamatan Sukowono, silakan klik 'open' pada spoiler di bawah ini.

12 Desa di Sukowono:

1. Sukowono
2. Sukokerto
3. Arjasa
4. Mojogemi
5. Pocangan
6. Sumberwringin
7. Sumberdanti
8. Balet Baru
9. Dawuan Mangli
10. Sumberwaru
11. Sukosari
12. Sukorejo
Sebagai wadah komunitas kelas tepian yang berupa perkumpulan (bukan yayasan, bukan lembaga swadaya masyarakat, bukan pula ormas), sudah direncanakan bahwa semisal 'Sudut Sukowono' hendak menggelar sebuah acara kecil, maka ia akan membiayai dirinya dengan cara iuran atau menjual sesuatu, misalnya menjual stiker. Dipersilakan pula bagi warga yang ingin menjadi donatur, asal atas nama pribadi. Mengenai dana ini, ia hanya berlaku apabila Sudut Sukowono sedang punya gawe. Misalnya, bikin acara sablon gratis. Agar bisa gratis, maka kita butuh iuran sejumlah seratus hingga seratus lima puluh ribu rupiah, agar bisa membeli cat sablon dan lain-lain yang dibutuhkan.

Agar tidak keliru memahami Sudut Sukowono, ia digagas oleh segelintir para muda Sukowono tanpa ada maksud lain selain hanya ingin mengerti lebih dalam lagi mengenai tanah kelahiran sendiri, Sukowono. Kata orang, tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Bila sudah tak cinta, maka cuek-lah jadinya.
Sudut Sukowono © 2017