Pages

Minggu, 28 Mei 2017

Burung-burung di Sukowono

Minggu, 28 Mei 2017
Di Sukokerto ada sebuah pohon yang daunnya lebar-lebar, buahnya sebesar mojo, dan memiliki biji berwarna hitam. Itulah pohon klompang, yang daunnya menaungi gumuk kuburan. Dulu, ketika hunian tak sepadat sekarang, pohon tua ini masih bisa kita lihat dari pasar Maesan. Pohon itu masih ada hingga sekarang, barangkali menjadi pohon tertua di Sukokerto.

Antara tahun 1987-1988, ketika Dany Reina masih duduk di bangku SMP, ia melihat sepasang kacer di belakang rumahnya di Sukokerto. Katanya, itu kacer lokal, warnanya dominan hitam, cucuk dan mata juga berwarna hitam, ada garis putih di sayap kiri dan kanannya.

Di pemula tahun 1990an, masih ada sedikit burung srigunting. Orang-orang di Sukowono dan sekitarnya membedakan jenis-jenis burung berdasarkan corak dan warnanya. Ada srigunting, srikantil, ada pula jeng kepot. Antara srikantil dan jeng kepot hampir tak bisa dibedakan, karena perbedaannya hanya ada di ekornya saja.

"Ketika saya masih kecil, burung manyar di Sukowono banyak sekali. Bila saya menemukan sarang burung manyar, ia akan saya jadikan mainan tinju-tinjuan. Orang-orang mengenal manyar dengan nama bitat. Dulu ada juga jalak putih. Berbeda dengan jalak bali yang memiliki jambul di kepala, jalak di sini tak seperti itu. Pelipis mata pun beda. Bila jalak bali punya pelipis mata kebiru-biruan, jalak putih di sini pelipis matanya berwarna kuning. Ada lagi bedanya. Kalau jalak bali dominan putih, jalak di sini antara warna putih dan hitam seimbang. Kini jalak putih itu hanya tinggal cerita. Ia habis oleh perburuan, berkurangnya aneka pohon sebagai penunjang habitatnya, dan dampak pestisida."

Di masa itu, di Sukowono ada pula jalak uret. Ia biasa tinggal di pelepah pohon pinang. Oleh warga Sukowono, burung ini biasa disebut jerebek. Jalak memang banyak jenisnya. Jalak wito yang endemik Madura itu, ada juga di Sukowono tempo dulu. Burungnya kecil, warnanya sama seperti jalak putih, tapi jalak wito lebih banyak warna putihnya.

Ada satu burung lagi yang biasa menjadi sahabat petani, ia adalah pertanggek/pertonggek. Kini kita mengenalnya dengan nama punglor merah atau anis merah.

"Saya juga masih ingat, dulu ketika masih kecil, di setiap sore menjelang maghrib biasanya akan ada koloni kalong yang terbang bersama-sama. Biasanya kalong-kalong ini hadir di musim buah, atau ketika pohon kapok sedang berbunga."

Untuk burung glatik cucuk merah, sampai sekarang ada di sudut-sudut Sukowono, tapi terbilang langka. Ia selangka burung cendet atau das. Yang umum tentu masih ada, seperti emprit kutang, tutul, delkok, kutilang, gereja, dan trucuk. Itu pun tak banyak lagi.

*Seperti yang diceritakan Mas Dany, semalam di Dawuhan Mangli.

Sembari menanti waktu berbuka puasa, silakan ditambahkan jenis-jenis burung di Sukowono tercinta. Terima kasih.

KOMENTAR

Erfan Afiat Sentosa: SRI GUNTING IKU...Opo nok cangka buntok ya.

RZ Hakim: Barangkali begitu, Pak Erfan Afiat Sentosa. Nama-nama burung di setiap daerah berbeda-beda.

Nonot Kasdaru: Cerita tentang macam2 burung dialam bebas di desa mengingatkan sy dulu masa masih kanak2 memang klo pagi dan sore banyak burung berkicau di pohon dgn kicauan macam asyik. Namun sayang itu semua tinggal kenangan. Pelan2; Punah oleh ulah manusia. Klo toh sekarang dengar kicau burung tetangga yg didalam kurungan sebaik apapun kicaunya tetap tdk seindah bunyi dialam liar.

Krisna Pinsett: Sekarang jarang sekali malah hampir tdk ada burung delkok/blekok yg dg senang hati nenemani pak tani yg sedang membajak sawah ..dulu membajak sawah dg 2 ekor lembu/sapi yg menarik bajak yg terdiri dari kayu dan besi dibagian bawah u memperdalam sawah yg sdh di airi ..nah dari gumpalan tanah yg terbelah oleh bajak itulah keluar cacing yg menjadi santapan delkok..seiring perkemb jaman bajak diambil alih oleh bajak dari besi alias traktor..kmn perginya delkokdelkok itu kini? Tak seorangpun tahu...

Edo Agusta: Dulu di sebelah timur lapangan sukowono sebelum jembatan yang diatas rel kereta api. Berjejeran pohon asam yang gede2 dan menjadi sarang tempat berkumpulnya burung delkok. Skr delkok sudah tidak kelihatan ada dimana.

Yogasmara: Jangan khawatir. Gumuk di sekitar cempaka lambat laun burung burung kecil maupun besar sepertinya mulai menunjukkan keeksistensiaannya. Bahkan terlihat 2 ekor tupai sedang bermain di atas rerantingan

Edo Agusta: Yang ditakutkan kalo ada yang medil nanti tupainya.. mungkin butuh perdes yang mengatur. Nyetrum nyangkali medil harus diatur.

Yogasmara: Setuju. Kalo seluruh komponen desanya sadar serta cerdas...pasti di lakukan....hehe

Semua perbincangan di atas dilakukan pada 28 Mei 2017 di group Facebook Sudut Sukowono, dituliskan kembali oleh RZ Hakim.



Jumat, 19 Mei 2017

Ketika Sukowono Semakin Panas, Saat menebang Pohon Begitu Mudah

Jumat, 19 Mei 2017
Oleh Dany Reina

Jam 8.00 pagi tadi, sprti biasa saya berangkat ke Sukokerto dari Dawuhan Mangli. Tak ada yang berubah dari jalan itu, tetap seperti 30 tahun yang lalu semenjak saya untuk pertama kalinya tahu dan bisa mengendarai sepeda onthel. Hanya saja sesampai di sebelah barat Puskesmas Sukowono, ada panas yang agak menyengat d punggung ini. Semakin ke barat semakin panas itu terasa. Padahal jam masih menunjukkan pukul 8.05. Rupanya panas itu berasal dari sinar matahari yang menerpa lngsung ke punggung tanpa ada yang menghalangi sinar itu.

Dahulu era tahun 1980an, jalur Sukowono-Sukokerto bahkan ke kecamatan sebelah, Maesan, ppohon-pohon begitu rindang di pinggir jalan. Begitu sejuk.

Era saya SMP di tahun 89,sering saya pulang sekolah jalan kaki dari Sukowono ke Sukokerto. Jalanan teduh, rindang, dan tanpa panas terik matahari terasa. Saya cuma heran, kemana hilangnya pohon-pohon peneduh pinggir jalan itu? Dan tadi pagi, rasa heran saya terjawabkan. Ada truck standby di pinggir jalan. Ada chainshow. Ada tali dan lengkap dengan para pekerja yang siap menaikkan potongan-potongan kayu hasil menebang pohon-pohon di pinggir jalan itu. Entah apa manfaat dari semua penebangan kayu-kayu itu. Apakah lebih banyak manfaatnya atau justru mudharat yang didapat. Mungkin ada rekan, saudara atau siapa saja yang mengetahui peruntukan dari hasil tebangan kayu-kayu tersebut, saya mohon pencerahannya.

Dany Reina, 19 Mei 2017

KOMENTAR

Kepala Suku: Yaaaa.....tak jauh dr kemungkinan praktek2 korup soalx itu kan milik PUD ....he he he ....itu cumak kemungkinan....

Riza Atty: Kalau dulu plg sekolah kalau panas berenti di bawah pohon nyamplong

Dany Reina: assalamualaikum mba' ayu....kpn plng kmping nih.

Riza Atty: W salam pasti plg kok. Iki sopo yo kok lali aku.

Dany Reina: klrga d sukokerto mba'ayu....klrga dr alm.pak sanidan....#colek Jango Ni

Riza Atty: Ooh iya kalau sama mbah ya tau tapi sama dany reina lupa minta maaf yo

Dany Reina: g apa2 mba' ayu...yg penting tali silaturahim tetap terjalin walau berjauhan tmpat...

Riza Atty: Betul salam keluarga semua.

Erfan Afiat Sentosa: Sabar aja mas dani, mungkin pohon asem sudah gak keren lagi kalau berada di tepian jalan,saya berhusnudzon barangkali akan di ganti pohon yg lebih keren dan sesuai dengan zaman modern

Dany Reina: mgkin mo d ganti pohon sengon mas bro...nilai ekonomisnya kan lebih tinggi.....hahaha

Diecky Carissa: Dan lebih cepet panennya..tak iyyeh mas broo..

Erfan Afiat Sentosa: ATAU POHON PERDU YG SEPERTI CAKAR AYAM....KAYAKNYA LEBIH MAHAL

Dany Reina: betul...betul....betul.....

RZ Hakim: Tadi malam saya dan istri naik motor dari arah Kalisat, dengan tujuan Cumedak, kecamatan Sumberjambe. Pulangnya ambil rute memutar lewat desa Sukosari kecamatan Sukowono. Sudah pukul setengah sepuluh malam, jalanan sudah sepi. Hawa dingin sekali. Kata orang, sudah musim nemor. Hanya di titik-titik tertentu saja ada keramaian. Sesekali kami berpapasan dengan kendaraan lain.

Di sini di sepanjang jalur Sukosari (dari arah Randuagung), masih banyak saya jumpai pohon asem sisa zaman Hindia Belanda. Ia tampak indah disinari penerangan jalan umum.

Pohon asem memang cocok ditanam di tepi jalan, sebagai penyerap air alami. Bila ada pohon asem, tanah di sekitarnya akan menyimpan air dalam kapasitas besar, sedangkan akar-kara pohon asem hanya akan menyimpan air untuk diri mereka sendiri. Dengan begitu, aspal tidak akan mudah rusak sebab tak terendam air di musim penghujan. Kerusakan bisa saja terjadi, tapi oleh sebab yang lain.

Berkurangnya jenis-jenis pohon (hingga menjadi sedikit jenis saja) tentu akan berdampak pada berkurangnya jenis burung, kupu, hingga capung. Tebakan saya, dulu ada banyak aneka jenis burung di Sukowono, kini menjadi berkurang. Apa itu benar, Mas Dany Reina?

Dany Reina: betul skali mas hakim....klo bleh membandingkan,aspal jln yg pohon asamnya tetap terpelihara,rata2 aspalnya lebih awet bila d bandingkn dg jln yg sedikit atw tdk ada sm skali pohon asamnya....miris mmg,pohon yg mgkin sdh berumur ratusan tahun hrs d tebang habis entah untuk alasan apa,pemerintah gencar menggalakkan program penghijauan tp d sisi lain malah MENGGERSANGKAN pinggir2 jalan kita...entah ini mmg inisiatif pemerintah sendiri atw kelakuan segelintir OKNUM yg kebetulan memegang kuasa.....

Ade Ierma: Hrsnya sblm d potong sdh ada pohon penggantinya...emang bnr kmrn aku pulkam...jam 8 spti jam 11 siang aj....

Rabu, 17 Mei 2017

Sukokerto

Rabu, 17 Mei 2017
Dituliskan kembali oleh RZ Hakim

Istri saya selalu senang bila saya mengajaknya jalan-jalan menyusuri Sukokerto, sebuah desa di Sukowono. Biasanya, kami ambil jalur dari Patemporan hingga ke Sumberkalong, lalu melintasi Ponpes di Sumberwringin, baru kemudian menuju Sukokerto. Di sini, udara terasa sejuk, detik seolah berjalan lambat. Apalagi sejak stasiun di Sukowono tak lagi beroperasi, ia berdampak pada perputaran ekonomi di desa Sukokerto.

Suatu hari di bulan November 1953, Gubernur Jawa Timur (R. Samadikoen) datang berkunjung ke desa Sukokerto untuk meresmikan sebuah sekolah.

Di Sukokerto ada sebuah jalan bernama JL. Imam Sukarto. Ketika terjadi pertempuran maut di Karangkedawung Jember pada 8 Februari 1949, Letkol Moch. Sroedji gugur. Perjalanan menuju perbatasan Jember-Bondowoso dilanjutkan, di bawah kepemimpinan sementara Imam Sukarto, salah satu orang kepercayaan Sroedji. Barangkali ini yang membuat di wilayah utara dan timur Jember tak ada nama JL. Moch. Sroedji, berbeda dengan Ambulu, Bangsalsari, dan Patrang, misalnya. Ia gugur sebelum sampai wilayah ini.

Imam Sukarto menjalani misi darurat itu dengan baik, hingga kemudian bisa melaporkan perjalanan Wingate-action kepada Magenda. Wingate adalah taktik perang, kembali ke kantong Republik dengan cara menyusup di garis belakang musuh/tentara Belanda, dari Kediri-Blitar hingga ke Sucopangepok dan Sukojember, dengan jumlah rombongan ribuan, dan dengan jalur yang tak sama. Ada rombongan kecil, ada rombongan besar. Kiranya, sisa rombongan yang dipimpin oleh Imam Sukarto istirahatnya di Sukokerto. Ketika itu oleh Jenderal Soedirman, mereka diinstruksikan menerapkan strategi Perang Semesta, dimana rakyat adalah tulang punggung kekuatan.

Bila ditarik ke belakang lagi, sejak Jember pisah dengan Bondowoso pada 1883, kita hanya punya empat Wedono/Kawedanan, yaitu Jember, Sukokerto, Puger, dan Tanggul. Hanya itu saja. Sukokerto adalah besar, kini hanya menjadi nama sebuah desa.

Mari kita tarik lagi ke belakang, ketika kita masih masuk Afdelling Bondowoso tahun 1845. Berikut nama-nama distriknya; Distrik Bondowoso (Afdelling Bondowoso), distrik Wonosari, distrik Penanggungan, distrik Sukakerta (Sukokerto), distrik Wringin, distrik Jember, distrik Puger.
Digambarkan ketika itu distrik Jember tak memiliki jalan raya, sebagian hanya jalan setapak, apabila musim hujan jalannya licin dan becek. Sedangkan di musim kemarau ia berdebu. Jumlah penduduk di seluruh distrik Jember di tahun 1845 adalah 9.237 jiwa. Bagaimana dengan distrik Sukokerto? Di tahun 1845, jumlah penduduknya adalah 11.803 jiwa. Secara akses/keterjangkauan, ia lebih dekat dengan Bondowoso. Apalagi sejak 1819 Bondowoso menjadi wilayah yang lepas dari Besuki atas inisiatif Bupati Besuki sendiri, Raden Tumenggung Prawiroadiningrat. Disusul pada 17 Oktober 1850, Bondowoso ditingkatkan lagi statusnya menjadi kabupaten.

Setelah status Jember ditingkatkan dari distrik menjadi Afdelling sendiri pada 13 Januari 1883, maka kisah kebesaran Sukokerto dengan teritorial yang luas hanya tinggal cerita.

TAMBAHAN

Bila saya melihat di arsip-arsip lama, telah ada foto Soekokerto/Sukokerto pada tahun 1885. Itu lama sekali, 132 tahun yang lalu. Setelah ditemukan teknik foto oleh Louis Danguerres dari Prancis pada Agustus 1839, setahun berikutnya Belanda sudah menguasai teknik ini. Sebelumnya, kita hanya bisa menikmati kota-kota di Jawa melalui lukisan atau sketsa.

Sedangkan pelopor keberadaan studio foto baru dimulai pada 1857 di Rijswijk Straat, Jakarta --kini di depan Gedung Harmoni. Pada 28 tahun kemudian, telah ada selembar foto Sukokerto. Bagi saya ini hebat, sebab Sukokerto jauh dari Jakarta, meskipun sama-sama di Jawa. Saat itu belum ada jalur kereta api menuju Sukowono.

Tampak dalam foto itu, di Sukokerto telah ada Jalan Raya, terlihat padat meskipun tidak dengan teknik pengaspalan seperti saat ini.

Teman-teman Sukowono yang baik, foto adalah teknik 'membekukan waktu' paling sederhana, dan paling mudah mempelajari sejarah memang dari foto. Tanpa terlalu banyak kata, ia sudah bicara. Mari kita melacak foto-foto Sukowono di album keluarga kita sendiri, barangkali ada. Tak harus lama sekali, foto tahun 2000an pun bagus, sebab kelak ia akan bercerita pada generasi Sukowono yang kini belum dilahirkan.

Sukowono indah sekali, sejak zaman Blambangan di kerajaan pertamanya, Panarukan.

Ohya, saya penasaran dengan kecamatan yang lekuk-lekuk tanahnya mirip kondisi geografis Bandung ini. Mengapa ia diberi nama Sukowono? *Catatan, di Bandung ada sebuah wilayah bernama Sukawana.

Komentar dari Pak Erfan Afiat Sentosa: Temen asal Bandung pernah coment "Landscape di seputaran Sukowono dan sekitarnya hampir2 kayak di sono.... Bener tidak?"

Komentar dari Bapak Muhammad Holis: "Kbetulan sy prangkat desa skkerto.cek sepa'en buat tambahan profil."

Komentar dari Bapak Krisna Pinsett: "Mas RZ Hakim.. dr masa ke masa yg terjadi saat ini ternyata Sukowono menjadi lbh rame n menjadi Kecamatan yg membawahi desa Sukokerto..itu pertama yg ingin sy ketahui..yg kedua apakah jalan propinsi dr Sempolan ke Maesan melewati Kalisat itu merupakan akses jalan yg dibuat Belanda waktu untuk bisa sambung ke Bondowoso? Ketiga.. bgmana akses jln dr Sempolan ke Jbr n menuju ke Bond apa msh blm dibuat sehingga akan melewati Sk Kerto ? Mks..sy lama di Sukowono.."

RZ Hakim: Bapak Krisna Pinsett yang baik, mohon maaf baru respon, tadi di rumah kontrakan saya sedang banyak tamu. Wah, menjadi terbalik ini, sudah seharusnya saya yang semestinya ngunduh ilmu ke njenengan.

Saya jawab sepengetahuan saya saja nggih Pak.

Terjadinya perpindahan atau perubahan nama memang wajar. Misalnya, daerah yang kini bernama kabupaten Situbondo, mulanya bernama kabupaten Panarukan. Ia baru berubah menjadi kabupaten Situbondo sejak 1972. Karena kantor-kantor pemerintahan, serta perputaran mata uang, dan juga keterjangkauan, lebih strategis di Situbondo. Begitu juga yang terjadi dengan Sukokerto-Sukowono.

Adapun mengenai jalur transportasi, ini yang lebih ahli adalah Mas Hanan :) Yang saya ketahui, sebelum ada kereta api di Sukowono, pihak ondernemer membangun sarana jalan ke pedesaan yang tujuannya untuk menghubungkan kebun yang satu dengan yang lain, dan biasanya milik perusahaan yang sama (satu saham).

Bila yang sampeyan tanyakan mengenai akses jalan Sempolan ke Maesan melewati Kalisat, lalu sambung ke Bondowoso, itu terjadi pada tahun 1937. Jauh sebelumnya, Sukokerto sudah memiliki postweg.

Jadi begini Bapak. Saya pernah membaca SK penting yang dibuat Belanda pada 30 November 1937, dimuat di suratkabar De Indische courant, yang isinya seperti di bawah ini:

Dewan Deputi dari Provinsial Dewan Jawa Timur mengeluarkan SK No. 17/13/6. Isinya, pihak penyelenggara wilayah diberi kewenangan untuk menyediakan sendiri bus umum pada rute:

I. Bondowoso -Wringin - Besuki, en,
II. Jember - Kalisat - Bondowoso
Kemudian,
III. Jember - Maesan - Bondowoso - Panaroekan.

Demikian saja yang saya ketahui Bapak Krisna Pinsett yang baik. Mohon maaf bila terlalu panjang. Terima kasih.

Hanan Kukuh Ratmono: duh. aku mak di celuk.. aku wis lali kabeh ilmu sejarah.. hahahahha.. kemungkinan ada kerancuan antara sukokerto sekarang dan sukokerto jaman dahulu. ini kalo melihat bangunan2 gudang yang ada. ayo mas hakim dan pak Krisna Pinsett di riset lagi.

RZ Hakim: Nah ini ada Mas Hanan, warga Sukowono yang jarang pulang kayaknya. Iya benar Mas. Butuh melacaknya kembali, pelan2. Dulu bangunan di Sukokerto (yang sekarang menjadi desa) didominasi oleh rumah-rumah kayu, sedangkan petinggi Eropa tidak memilih tinggal di sana. Juragannya ada di pertigaan Maesan, sampai2 makam istrinya ada di sana.

Saya butuh mengerti tentang pabrik roti paling lama di Sukowono, dimana kira2? Rumus sederhananya, dimana ada hunian orang Eropa, di sana akan meninggalkan pabrik roti. Juga makam paling kuno di Sukowono, dimana? Kalau peninggalan zaman batu besar (megalitikum) masih ada di Sukosari kan ya? Tapi yang kita lacak adalah era abad XIX Sukowono, jadi tak harus setua peninggalan yang di Sukosari.

Sakalangkong.

Krisna Pinsett: Mas RZ Hakim..sangat benar sekali pemikiran jenengan mas..pabrik roti paling tua di Sukowono (maaf kl keliru) berada di utara gudang seng PTPN X Sukowono yaitu rumah alm.SIWI papax Siwi namax Yok Agoy..(sekarang ditempati mebel) saya masih nututi bagaimana yok Agoy membuat roti bulat bulat bentukx..kemudian kl jenengan tanya dimana ada makam tua sy juga tahu krn dulu sy karyawan PTPN Sukowono yaitu berada di pojok belakang sebelah utara.bangunan makamx gaya Eropa tp sekarang sdh jadi tempat bakar sampah tembakau ..sakak dinto tretan ..hihi

Krisna Pinsett: Mgk sahabat2 ada yg tahu ya mengapa setiap kompleks Perkebunan yg ditempati pimpinanx (besaran istilahx) pemerintahan Belanda waktu itu mencari lokasi paling tinggi dataranx? tp ini tidak semua lokasi gudang seng.. yg jelas hampir semua rumah besaran pasti ada bukit kecil dibelakangx.. contoh: gudang seng Skw.. gd seng Sukokerto-Ajung.. lalu di gd seng Kertosari.. Maaf ini kl melenceng jauh dr obrolan seputar Sukowono.. tp msh berhubungan dg pokok bahasan..

Semua perbincangan di atas dilakukan pada 17 Mei 2017 di group Facebook Sudut Sukowono.

Senin, 13 Maret 2017

Kenangan Radio Transistor di Sukowono

Senin, 13 Maret 2017

Warga Sukowono sedang foto bersama. Ada radio transistor di antara mereka.

FOTO kiriman dari Bapak Bambang Hermanto, warga Kalisat, di group Sudut Sukowono pada 10 Maret 2017. Almarhum Ayahnya adalah perintis keberadaan studio foto di Kalisat, Njoo Studio namanya. Dalam foto ini, tertulis keterangan pendek, "Jaman dimana radio transistor masih jadi barang yang bisa dibanggakan."

Komentar dari Bapak Krisna Pinsett, "Radio model seperti itu biasanya banyak yang bermerek Cawang."

Oleh Bapak Bambang diapresiasi dengan jawaban berikut, "Cawang itu nama produknya Nasional/Panasonic."

Minggu, 12 Maret 2017

Tentara Belanda Nostalgia di Sukowono

Minggu, 12 Maret 2017

Tentara Belanda Nostalgia di Sukowono

FOTO kiriman dari Bapak Doel Ratufm di group Sudut Sukowono pada 10 Maret 2017. Dalam keterangannya, ia menulis seperti ini, "Asli penghuni Kantor Camat Sukowono, sebelum pulang Ke Netherlands. Opa dan Oma." Di kolom komentar ada pertanyaan dari Bapak Nonot Kasdaru, "Tahun berapakah ini? Tuan Brigman." Dijawab oleh Bapak Doel, "Tahun 1960an katanya, Pak."

"Siapa itu Dik? Kok ada keluarga yang dari Netherlands." Tanya Bapak Krisna Pinsett. Pertanyaan itu segera dijawab oleh Bapak Doel, "Opa dan Oma, kakak kandung Ba Nian. Dia Tentara Belanda. Kantor Camat sekarang, dulu itu rumahnya."
Sudut Sukowono © 2017